Di sebuah sudut Purworejo, hidup seorang ibu bernama Titik Suharti. Usianya 62 tahun, tapi tubuhnya tak lagi sekuat dulu. Dulu, ia dikenal sebagai petani tangguh. Pagi-pagi sekali ia menyemai benih harapan di ladang, menantang panas dan hujan demi menyambung hidup. Tapi sejak suaminya meninggal, dan penyakit datang bertubi-tubi, hidup terasa jauh lebih sunyi dan berat.
Awalnya, awal tahun 2024 itu hanya ia pikir sebagai bagian dari usia. Ia merasa tubuhnya menua. Ketika mulai pendarahan, ia kira itu hanyalah gejala menopause yang terlambat. Tapi rasa cemas itu semakin nyata saat darah tak kunjung berhenti. Ia dibawa ke rumah sakit terdekat. Dokter bilang hanya penebalan dinding rahim. Ia pun pulang dengan secercah harap bahwa semua akan baik-baik saja.
Namun, harapan itu runtuh seiring waktu. Beberapa minggu kemudian, pendarahan kembali datang—kali ini lebih hebat. Tubuhnya lemah, wajahnya pucat, tapi ia masih mencoba tegar. Ia akhirnya dibawa ke Rumah Sakit Sardjito di Yogyakarta. Di sanalah semua kepastian berubah. Diagnosa kanker rahim menggantikan ketenangan yang ia bangun selama ini.
Sejak saat itu, hidup Ibu Titik tak pernah sama. Ia harus menjalani pengobatan sinar luar dan sinar dalam secara rutin. Prosedur medis yang menyakitkan itu tak hanya menggerus fisiknya, tapi juga tenaganya, tabungannya, dan harapannya. Meski BPJS menanggung biaya rumah sakit, ada satu hal yang tetap menjadi beban berat: biaya operasional.
Dari Purworejo ke Sardjito bukanlah perjalanan singkat. Butuh uang untuk transportasi, makan, dan kebutuhan sehari-hari selama menjalani pengobatan. Ia tak punya pendapatan tetap. Dulu bisa bertani, tapi kini tubuhnya terlalu rapuh. Sendiri pula, karena suami tercinta telah lebih dulu pergi.
Dalam usia senjanya, Ibu Titik tak menyerah. Setiap jadwal kontrol, ia tetap berangkat ke Sardjito, walau harus meminjam kendaraan tetangga atau menunggu tumpangan dari kerabat. Tak ada hutang, tak ada pinjaman besar, karena ia tahu tak banyak yang bisa ia andalkan.
Bu Titik berangkat berobat ke RS Sardjito
Ibu Titik hanya punya satu pegangan: harapan bahwa masih ada yang peduli.
Dan di sinilah peran kita diuji. Apakah kita akan diam saja melihat seorang ibu yang telah bekerja keras sepanjang hidupnya harus berjuang sendiri melawan kanker di usia senjanya? Ataukah kita akan turun tangan, memberi uluran agar beban itu tak ia pikul sendirian?
Uluran tanganmu bisa menjadi kekuatan baru bagi Ibu Titik. Bukan hanya untuk transportasi ke rumah sakit, tapi juga untuk memberi harapan bahwa ia tak sendiri. Bahwa masih ada yang peduli. Bahwa masih ada yang mau menemani perjuangannya.
Sebab dalam setiap sedekahmu, ada arti lebih besar daripada uang—ada harapan, ada kekuatan, ada kehidupan. Yuk kita bantu Bu Titik dan dhuafa sakit lainnya agar bisa terus berangkat berobat dengan cara:
Tak hanya mendoakan dan berdonasi, Sedekaholic juga dapat membagikan galangan dana ini agar lebih banyak orang membantu dhuafa sakit dalam menjemput kesembuhannya.
Terima kasih, Sedekaholic!
Disclaimer:
Donasi yang terkumpul akan digunakan untuk membantu pengobatan Bu Titik, pasien dampingan SR lain yang membutuhkan, serta membantu operasional pergerakan Sedekah Rombongan dalam mendampingi dhuafa sakit
Belum ada Fundraiser